Oedema cerebral merupakan akumulasi cairan abnormal
yang menyebabkan penambahan volume otak. Kondisi tersebut terjadi setelah trauma kepala
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, sehingga berakibat
pada penurunan CBF dan perfusi jaringan cerebral yang berdampak kepada kematian
maupun prognosa yang buruk dari penyakit tersebut. Perkembangan oedema cerebral sejalan dengan
peningkatan TTIK secara eksponensial sebagai akibat dari reaksi terhadap
perubahan kecil pada penambahan air.
Oedema cerebral terbagi menjadi tiga, yaitu oedema
vasogenik dan sitotoksik, dan oedema interstitial. Edema vasogenik, yang
disebabkan oleh permeabilitas sel-sel endotelium kapiler otak yang meningkat
dan ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami neoplasma otak. Edema
sitotoksik, yang disebabkan oleh aliran air masuk ke dalam sel. Tipe edema ini
bisa disebabkan oleh pengurangan energi dengan kegagalan pompa Na+ dan K+ yang
tergantung ATP (pada kasus infark serebri) atau kandungan Na+ ekstraseluler
yang rendah (hiponatremia).
Edema interstitial, yaitu edema yang terjadi karena CSF berdifusi melalui dinding ependymal dari ventrikel ke dalam zat putih periventrikular. Tipe edema ini ditemukan pada hidrosefalus.
Edema interstitial, yaitu edema yang terjadi karena CSF berdifusi melalui dinding ependymal dari ventrikel ke dalam zat putih periventrikular. Tipe edema ini ditemukan pada hidrosefalus.
Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial
(ICP) merupakan masalah penting dan sering terjadi pada pasien dengan trauma
kepala. Kedua masalah ini bisa disebabkan oleh berbagai gangguan pada otak. Berbagai metode pengobatan lain telah diteliti,
dan hipertonik saline (HS) cukup menarik untuk menjadi tambahan bagi metode
terapeutik untuk edema serebri yang ada sekarang ini.
Sawar darah otak/blood
brain barrier (BBB) merupakan sebuah struktur anatomis dan fisiologis. BBB
tersusun atas pertemuan-pertemuan antara sel-sel endotelium dari kapiler-kapiler
serebri. Ada banyak mekanisme yang digunakan senyawa-senyawa untuk melintasi
BBB, diantaranya transport aktif, difusi, dan osmosis. Karena transport melalui
BBB merupakan sebuah proses selektif, gradien osmotik yang bisa dibentuk oleh
sebuah partikel juga tergantung pada kemampuan permeabilitasnya terhadap sawar
tersebut.
Koefisien refleksi untuk natrium klorida adalah 1,0
(mannitol adalah 0,9), dan pada kondisi-kondisi normal natrium (Na+) telah
ditransport secara aktif ke dalam CSF. Penelitian-penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa pada kondisi-kondisi dimana BBB utuh, konsentrasi Na+ dalam
CSF meningkat ketika ada gradien osmotik tetapi tidak meningkat pada
konsentrasi plasma selama 1 sampai 4 jam. Sehingga, peningkatan Na+ serum akan
menghasilkan gradien osmotik efektif dan mengambil air dari otak ke dalam ruang
intravascular.
Hipertonik saline dapat mempengaruhi volume struktur
intrakranial melalui berbagai mekanisme. Semua atau beberapa dari mekanisme ini
kemungkinan saling berinteraksi untuk mencapai mencapai hasil akhir terapi HS,
yaitu pengurangan edema serebri pada peningkatan ICP. Dehidrasi jaringan otak menyebabkan
pembentukan gradien osmotik, sehingga mengambil air dari parenchym dan
membawanya ke dalam ruang intravascular.
Bukti eksperimental menunjukkan bahwa sifat-sifat hipertonik
saline yang dapat mengurangi cairan otak dicapai dengan mengorbankan hemisfer
normal. Larutan hipertonik saline meningkatkan volume intravaskular dan
mengurangi viskositas darah. Mekanisme-mekanisme regulatory dari vaskular otak
telah merespon bukan hanya terhadap perubahan tekanan darah tetapi juga
perubahan viskositas. Sehingga, pengurangan viskositas darah menghasilkan
vasokonstriksi untuk mempertahankan aliran darah serebri yang stabil (CBF).
Berdasarkan data eksperimental pada hewan, didapatkan
data bahwa tonisitas plasma yang meningkat (setelah pemberian hipertonik
saline) dapat mendukung penyerapan CSF yang lebih cepat.
Hipertonik saline telah diteliti secara ekstensif
pada berbagai model hewan. Literatur menunjukkan bahwa resusitasi cairan dengan
bolus hipertonik saline setelah syok hemoragik mencegah peningkatan ICP yang
mengikuti resusitasi dengan cairan kristaloid dan koloid standar selama 2 jam
atau kurang. Efek ini bisa dipertahankan selama periode yang lebih lama dengan
menggunakan infus hipertonik saline secara kontinu. Hipertonik saline lebih
baik dibanding larutan koloid dalam hal respons ICP selama periode awal
resusitasi. Pada model cedera serebri pada hewan, efek pengurangan ICP maksimal
dari hipertonik saline cukup baik dengan lesi-lesi focal, seperti perdarahan
intraserebral. Selain itu, pengurangan ICP bisa disebabkan oleh reduksi
kandungan air pada area otak yang memiliki BBB utuh, seperti hemisfer yang
tidak berlesi dan cerebellum. Hipertonik saline juga telah dibandingkan dengan
mannitol dan ditemukan memiliki efikasi sebanding dalam mengurangi ICP tetapi
memiliki durasi aksi yang lebih lama dan menghasilkan perbaikan tekanan perfusi
serebri yang lebih besar.
Kebanyakan penelitian pada manusia hanya dilakukan
pada pasien-pasien yang mengalami cedera otak traumatik. Walaupun belum ada
kesepakatan tentang konsentrasi, dosis, atau durasi pengobatan yang tepat, hipertonik
saline telah dilaporkan memiliki efek bermanfaat terhadap ICP yang meningkat
pada pasien-pasien setelah cedera otak traumatik. Kebanyakan penelitian yang
dilakukan terbatas oleh ukuran sampel yang kecil dan penggunaan berbagai
konsentrasi hipertonik saline. Penggunaan hipertonik saline pada pasien yang
mengalami cedera otak traumatik mendapatkan lebih banyak perhatian, sehingga
penelitian-penelitian yang dirancang dengan baik masih diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
- Catrambone et al, 2008, The use of hypertonic saline in the treatment of post-traumatic cerebral edema: a review, European Journal of Trauma and Emergency Surgery, no. 4, pp. 397-409, http://content.ebscohost.com/pdf9/pdf/2008/3C05/01Aug08/35277302.pdf?T=P&P=AN&K=2009998588&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLr40SeqK44zOX0OLCmr0qep65SsKa4SrWWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 24 November 2012 pukul 17.00 WIB.
- Cecil, S, et al, 2011, Traumatic brain injury advanced multimodal neuromonitoring from theory to clinical practice, Critical Care Nurse, vol. 31, no. 2, pp. 25-36, http://content.ebscohost.com/pdf25_26/pdf/2011/1GD/01Apr11/59747595.pdf?T=P&P=AN&K=2010994800&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLr40SeqK44zOX0OLCmr0qep65SsKm4SraWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 22 November 2012 pukul 17.00 WIB.
Diposkan oleh : Ahmat Pujianto
fijaytrangkil@gmail.com
No comments:
Post a Comment