Wednesday, August 27, 2014

Penggunaan Cairan Hipertonik pada Oedema Cerebri


Oedema cerebral merupakan akumulasi cairan abnormal yang menyebabkan penambahan volume otak.  Kondisi tersebut terjadi setelah trauma kepala yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial, sehingga berakibat pada penurunan CBF dan perfusi jaringan cerebral yang berdampak kepada kematian maupun prognosa yang buruk dari penyakit tersebut.  Perkembangan oedema cerebral sejalan dengan peningkatan TTIK secara eksponensial sebagai akibat dari reaksi terhadap perubahan kecil pada penambahan air.
Oedema cerebral terbagi menjadi tiga, yaitu oedema vasogenik dan sitotoksik, dan oedema interstitial. Edema vasogenik, yang disebabkan oleh permeabilitas sel-sel endotelium kapiler otak yang meningkat dan ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami neoplasma otak. Edema sitotoksik, yang disebabkan oleh aliran air masuk ke dalam sel. Tipe edema ini bisa disebabkan oleh pengurangan energi dengan kegagalan pompa Na+ dan K+ yang tergantung ATP (pada kasus infark serebri) atau kandungan Na+ ekstraseluler yang rendah (hiponatremia).
Edema interstitial, yaitu edema yang terjadi karena CSF berdifusi melalui dinding ependymal dari ventrikel ke dalam zat putih periventrikular. Tipe edema  ini ditemukan pada hidrosefalus.
Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) merupakan masalah penting dan sering terjadi pada pasien dengan trauma kepala. Kedua masalah ini bisa disebabkan oleh berbagai gangguan pada otak.    Berbagai metode pengobatan lain telah diteliti, dan hipertonik saline (HS) cukup menarik untuk menjadi tambahan bagi metode terapeutik untuk edema serebri yang ada sekarang ini.
Sawar darah otak/blood brain barrier (BBB) merupakan sebuah struktur anatomis dan fisiologis. BBB tersusun atas pertemuan-pertemuan antara sel-sel endotelium dari kapiler-kapiler serebri. Ada banyak mekanisme yang digunakan senyawa-senyawa untuk melintasi BBB, diantaranya transport aktif, difusi, dan osmosis. Karena transport melalui BBB merupakan sebuah proses selektif, gradien osmotik yang bisa dibentuk oleh sebuah partikel juga tergantung pada kemampuan permeabilitasnya terhadap sawar tersebut.
Koefisien refleksi untuk natrium klorida adalah 1,0 (mannitol adalah 0,9), dan pada kondisi-kondisi normal natrium (Na+) telah ditransport secara aktif ke dalam CSF. Penelitian-penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa pada kondisi-kondisi dimana BBB utuh, konsentrasi Na+ dalam CSF meningkat ketika ada gradien osmotik tetapi tidak meningkat pada konsentrasi plasma selama 1 sampai 4 jam. Sehingga, peningkatan Na+ serum akan menghasilkan gradien osmotik efektif dan mengambil air dari otak ke dalam ruang intravascular.
Hipertonik saline dapat mempengaruhi volume struktur intrakranial melalui berbagai mekanisme. Semua atau beberapa dari mekanisme ini kemungkinan saling berinteraksi untuk mencapai mencapai hasil akhir terapi HS, yaitu pengurangan edema serebri pada peningkatan ICP. Dehidrasi jaringan otak menyebabkan pembentukan gradien osmotik, sehingga mengambil air dari parenchym dan membawanya ke dalam ruang intravascular.
Bukti eksperimental menunjukkan bahwa sifat-sifat hipertonik saline yang dapat mengurangi cairan otak dicapai dengan mengorbankan hemisfer normal.  Larutan hipertonik saline meningkatkan volume intravaskular dan mengurangi viskositas darah. Mekanisme-mekanisme regulatory dari vaskular otak telah merespon bukan hanya terhadap perubahan tekanan darah tetapi juga perubahan viskositas. Sehingga, pengurangan viskositas darah menghasilkan vasokonstriksi untuk mempertahankan aliran darah serebri yang stabil (CBF).
Berdasarkan data eksperimental pada hewan, didapatkan data bahwa tonisitas plasma yang meningkat (setelah pemberian hipertonik saline) dapat mendukung penyerapan CSF yang lebih cepat.
Hipertonik saline telah diteliti secara ekstensif pada berbagai model hewan. Literatur menunjukkan bahwa resusitasi cairan dengan bolus hipertonik saline setelah syok hemoragik mencegah peningkatan ICP yang mengikuti resusitasi dengan cairan kristaloid dan koloid standar selama 2 jam atau kurang. Efek ini bisa dipertahankan selama periode yang lebih lama dengan menggunakan infus hipertonik saline secara kontinu. Hipertonik saline lebih baik dibanding larutan koloid dalam hal respons ICP selama periode awal resusitasi. Pada model cedera serebri pada hewan, efek pengurangan ICP maksimal dari hipertonik saline cukup baik dengan lesi-lesi focal, seperti perdarahan intraserebral. Selain itu, pengurangan ICP bisa disebabkan oleh reduksi kandungan air pada area otak yang memiliki BBB utuh, seperti hemisfer yang tidak berlesi dan cerebellum. Hipertonik saline juga telah dibandingkan dengan mannitol dan ditemukan memiliki efikasi sebanding dalam mengurangi ICP tetapi memiliki durasi aksi yang lebih lama dan menghasilkan perbaikan tekanan perfusi serebri yang lebih besar.
Kebanyakan penelitian pada manusia hanya dilakukan pada pasien-pasien yang mengalami cedera otak traumatik. Walaupun belum ada kesepakatan tentang konsentrasi, dosis, atau durasi pengobatan yang tepat, hipertonik saline telah dilaporkan memiliki efek bermanfaat terhadap ICP yang meningkat pada pasien-pasien setelah cedera otak traumatik. Kebanyakan penelitian yang dilakukan terbatas oleh ukuran sampel yang kecil dan penggunaan berbagai konsentrasi hipertonik saline. Penggunaan hipertonik saline pada pasien yang mengalami cedera otak traumatik mendapatkan lebih banyak perhatian, sehingga penelitian-penelitian yang dirancang dengan baik masih diperlukan. 
DAFTAR PUSTAKA
  1. Catrambone et al, 2008, The use of hypertonic saline in the treatment of post-traumatic cerebral edema: a review, European Journal of Trauma and Emergency Surgery, no. 4, pp. 397-409, http://content.ebscohost.com/pdf9/pdf/2008/3C05/01Aug08/35277302.pdf?T=P&P=AN&K=2009998588&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLr40SeqK44zOX0OLCmr0qep65SsKa4SrWWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 24 November 2012 pukul 17.00 WIB.
  2. Cecil, S, et al, 2011, Traumatic brain injury advanced multimodal neuromonitoring from theory to clinical practice, Critical Care Nurse, vol. 31, no. 2, pp. 25-36, http://content.ebscohost.com/pdf25_26/pdf/2011/1GD/01Apr11/59747595.pdf?T=P&P=AN&K=2010994800&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLr40SeqK44zOX0OLCmr0qep65SsKm4SraWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 22 November 2012 pukul 17.00 WIB. 

Diposkan oleh : Ahmat Pujianto 
fijaytrangkil@gmail.com

No comments:

Post a Comment