Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran napas (airway) yang berhubungan dengan hiperresponsif dan episode penyempitan pada jalan napas. Di era sekarang ini, fakta tentang prevalensi penderita asma terus mengalami peningkatan. Data dari badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2010, mencatat bahwa 300 juta orang di seluruh dunia menderita asma. Pada tahun 2005, tercatat 255 ribu orang di dunia meninggal karena serangan asma. Asma juga paling sering terjadi pada anak-anak, dan 80% penderita asma berada di negara miskin dan berkembang, sehingga kebanyakan penderita asma sering tidak terdiagnosa dan tidak tertangani sehingga akibatnya fatal.
Manajemen penanganan asma bronchial mengalami perkembangan seiring dengan proses evolusi tentang konsep penyakit asma. Pada pertengahan abad 20, asma disebut sebagai penyakit atau gejala kompleks yang ditandai dengan sesak napas yang berat akibat bronkospasme (penyempitan pada bronkhus). Bronkospasme merupakan faktor dominan yang menyebabkan penyempitan pada jalan napas (airway). Dampaknya, untuk mengatasi penyempitan pada jalan napas tersebut, penderita biasanya diberikan terapi bronkodilator, seperti epinephrine, dll pada saat penderita mengalami serangan asma (astma attack). Pada tahun 1960 an, asma didefinisikan sebagai penyakit hiperresponsif pada airway (jalan napas). Sekitar tahun 1980 an, ditemukan inflamasi pada jalan napas yang kemudian dihubungkan dengan hiperresponsif pada airway (jalan napas) dan gejala pada asma. Pada penderita asma, jumlah eosinofil ditemukan mengalami peningkatan pada jalan napas pasien. Eosinofil yang ditemukan di jalan napas penderita asma tersebut berkontribusi terhadap perubahan histologis dan fungsi dari jalan napas diantaranya rusaknya lapisan epitel pada bronchus dan hiperresponsif pada bronchus. Agen anti inflamasi seperti kortikosteroid, agen anti alergi, theopilin, biasanya diberikan untuk menekan jumlah eosinofil pada jalan napas sehingga jalan napas bisa kembali lagi efektif. Berdasarkan patofisiologi asma, telah menunjukkan bahwa ada banyak sel dan cytokine yang memiliki peran pada proses inflamasi jalan napas dan komplikasi pada pasien dengan asma. Perubahan struktur pada jalan napas akibat proses inflamasi (airway remodeling) tersebut akan menyebabkan penyempitan dan hiper responsif pada jalan napas yang bersifat persisten.
Manajemen penanganan asma bronchial mengalami perkembangan seiring dengan proses evolusi tentang konsep penyakit asma. Pada pertengahan abad 20, asma disebut sebagai penyakit atau gejala kompleks yang ditandai dengan sesak napas yang berat akibat bronkospasme (penyempitan pada bronkhus). Bronkospasme merupakan faktor dominan yang menyebabkan penyempitan pada jalan napas (airway). Dampaknya, untuk mengatasi penyempitan pada jalan napas tersebut, penderita biasanya diberikan terapi bronkodilator, seperti epinephrine, dll pada saat penderita mengalami serangan asma (astma attack). Pada tahun 1960 an, asma didefinisikan sebagai penyakit hiperresponsif pada airway (jalan napas). Sekitar tahun 1980 an, ditemukan inflamasi pada jalan napas yang kemudian dihubungkan dengan hiperresponsif pada airway (jalan napas) dan gejala pada asma. Pada penderita asma, jumlah eosinofil ditemukan mengalami peningkatan pada jalan napas pasien. Eosinofil yang ditemukan di jalan napas penderita asma tersebut berkontribusi terhadap perubahan histologis dan fungsi dari jalan napas diantaranya rusaknya lapisan epitel pada bronchus dan hiperresponsif pada bronchus. Agen anti inflamasi seperti kortikosteroid, agen anti alergi, theopilin, biasanya diberikan untuk menekan jumlah eosinofil pada jalan napas sehingga jalan napas bisa kembali lagi efektif. Berdasarkan patofisiologi asma, telah menunjukkan bahwa ada banyak sel dan cytokine yang memiliki peran pada proses inflamasi jalan napas dan komplikasi pada pasien dengan asma. Perubahan struktur pada jalan napas akibat proses inflamasi (airway remodeling) tersebut akan menyebabkan penyempitan dan hiper responsif pada jalan napas yang bersifat persisten.
Gambar 1 : Evolusi konsep penyakit asma (Sumber : Makino & Sagara, 2010)
Perkembangan penyakit asthma bronchial sejatinya sama seperti proses inflamasi kronis pada saluran napas yang melibatkan sel T, khususnya T helper tipe 2, sel Th2, sel mast, dan airway remodeling. Airway remodeling menyebabkan penyempitan jalan napas yang bersifat persisten (terus menerus) dan hiperresponsif jalan napas. Faktanya pada tahun 1966, Makino menemukan bahwa pada pasien asthma dengan FEV1/predicted VC yang rendah, terjadi peningkatan sensitivitas/respon pada jalan napas. Penelitian terbaru difokuskan pada peran transforming growth factor (TGF) beta, suatu cytokine fibrogenik pada proses airway remodeling. Akhir-akhir ini evidence telah menemukan bahwa proses airway remodeling disebabkan akibat ketidakseimbangan mekanisme pengaturan yang dimediatori oleh Smads yaitu salah satu jenis molekul penghantar signal dari TGF-Beta. Smad7 merupakan antagonis intraseluler dari TGF-Beta, yang dapat menentukan intensitas atau durasi sinyal TGF-Beta. Sagara, Nakao dkk menemukan bahwa ekspresi Smad7 pada sel epitel bronchial berbanding terbalik dengan ketebalan membran dasar dan hiperresponsif jalan napas pada pasien dengan asma, sementara ekspresi Smad2 memiliki hubungan yang psositif dengan ketebalan membran dasar dan hiperresponsif jalan napas. Tingkat protein smad di intraseluler dikontrol oleh cytokine. Fueki, Sagara dkk menemukan bahwa pengaruh Th2, cytokine interleukin (IL)-5 dan granulocyte –macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan pengaturan cytokine IL-10 pada ekspresi penghambatan protein Smad7 pada sel epitel bronchus. IL-10 menghambat ekspresi TGF-Beta.
No comments:
Post a Comment