Wednesday, September 3, 2014

Manajemen Risiko Klinis

1.    Pengertian
Manajemen risiko (risk management) adalah keseluruhan proses mengenai identifikasi bahaya (hazards identification), penilaian risiko (risk assessment), dan menentukan pengendaliannya (risk control), atau disingkat HIRARC. HIRARC merupakan elemen pokok dalam system manajemen keselamatan  dan kesehatan kerja (K3) yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya. HIRARC harus dilakukan di seluruh aktivitas organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap K3 (Ramli, 2010).

2.    Proses Manajemen Risiko
Mengelola risiko harus dilakukan secara komprehensif melalui pendekatan manajemen risiko sebagaimana terlihat dalam Risk Management Standard AS/NZS 4360 (Ramli, 2010), yang meliputi :
a.    Penentuan konteks
b.    Identifikasi risiko
c.    Analisa risiko
d.    Evaluasi risiko
e.    Pengendalian risiko
f.    Komunikasi
g.    Pemantauan dan tinjauan ulang
Langkah awal mengembangkan manajemen risiko adalah menentukan konteks yang diperlukan karena manajemen risiko sangat luas dan bermacam aplikasinya. Penentuan konteks ini diselaraskan dengan visi dan misi organisasi serta sasaran yang ingin dicapai. Lebih lanjut ditetapkan pula kriteria risiko yang sesuai bagi organisasi. Setelah menetapkan konteks manajemen risiko, langkah berikutnya adalah melakukan identifikasi bahaya, analisa, dan evaluasi risiko serta menentukan langkah atau strategi pengendaliannya (Ramli, 2010).

3.    Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui potensi bahaya yang ada di lingkungan kerja. Dengan mengetahui sifat dan karakteristik bahaya, kita dapat lebih berhati-hati, waspada dan melakukan langkah-langkah pengamanan agar tidak terjadi kecelakaan (Ramli, 2010).
Sejalan dengan proses manajemen risiko, OHSAS 18001 mensyaratkan prosedur identifikasi bahaya dan penilaian risiko (Ramli, 2010) adalah sebagai berikut :
a.    Mencakup seluruh kegiatan organisasi baik kegiatan rutin maupun non rutin. Tujuannya agar semua bahaya yang ada dapat diidentifikasi dengan baik termasuk potensi bahaya yang dapat timbul dalam kegiatan yang bersifat non rutin seperti pemeliharaan, proyek pengembangan, dan lainnya.
b.    Mencakup seluruh aktivitas individu yang memiliki akses ke tempat kerja. Sesuai ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1970, perlindungan keselamatan berlaku bagi setiap orang yang berada di tempat kerja termasuk pihak lain yang masuk ke tempat kerja. Karena itu, identifikasi bahaya juga mempertimbangkan keselamatan pihak luar organisasi seperti kontraktor, pemasok, atau tamu.
c.    Perilaku manusia, kemampuan, dan faktor manusia lainnya. Faktor manusia harus dipertimbangkan ketika melakukan identifikasi dan penilaian risiko. Manusia dengan perilaku, kemampuan, pengalaman, latar belakang pendidikan sosial memiliki kerentanan terhadap keselamatan. Perilaku yang kurang baik mendorong terjadinya tindakan berbahaya yang dapat mengarah terjadinya insiden.
d.    Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamatan manusia yang berada di tempat kerja. Organisasi tidak mungkin hidup atau jalan sendiri tanpa interaksi dengan pihak lainnya. Banyak sumber bahaya yang masuk ke dalam organisasi seperti dari bahan, jasa, individu, atau material yang dipasok dari luar. Masing-masing akan membawa potensi bahaya yang dapat membahayakan organisasi.
e.    Bahaya yang timbul di sekitar tempat kerja dari aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan yang berada di bawah kendali organisasi. Sumber bahaya tidak hanya berasal dari internal organisasi tetapi juga dapat bersumber dari sekitar tempat kerja. Sebagai contoh, kemungkinan penjalaran api, gas, suara dan debu dari aktivitas yang berada di sekitar lokasi kerja dapat menimbulkan bahaya terhadap organisasi. Faktor eksternal harus diidentifikasi dan dievaluasi.
f.    Mencakup seluruh infrastruktur, peralatan dan material di tempat kerja, baik yang disediakan organisasi atau pihak lain. Infrastruktur juga mengandung potensi bahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan.
g.    Perubahan organisasi, kegiatan atau material.
h.    Setiap perubahan atau modifikasi yang dilakukan dalam organisasi termasuk perubahan sementara harus memperhitungkan potensi bahaya K3 dan dampaknya terhadap operasi, proses, dan aktivitas.
i.    Setiap persyaratan legal yang berlaku berkaitan dengan pengendalian risiko dan implementasi pengendalian yang diperlukan.
j.    Rancangan lingkungan kerja, proses, instalasi, mesin, peralatan, prosedur operasi dan organisasi kerja, termasuk adaptasinya terhadap kemampuan manusia.
Tujuan persyaratan ini adalah untuk memastikan bahwa identifikasi bahaya dilakukan secara komprehensif dan rinci sehingga semua peluang bahaya dapat diidentifikasi.

4.    Penilaian Risiko
Setelah melakukan identifikasi bahaya dilanjutkan dengan penilaian risiko yang bertujuan untuk mengevaluasi besarnya risiko serta skenario dampak yang akan ditimbulkannya. Penilaian risiko digunakan sebagai labgkah saringan untuk menentukan tingkat risiko ditinjau dari kemungkinan kejadian (likehood) dan keparahan yang dapat ditimbulkannya (severity).
Contoh kategori kemungkinan terjadinya risiko (likehood) secara kualitatif (Ramli, 2010) adalah sebagai berikut :
5.    Pengendalian Risiko
Sejalan dengan konsep manajemen risiko, OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi melakukan pengendalian risiko sesuai hasil identifikasi bahaya dan penilaian risiko yang telah dilakukan.
Pengendalian risiko dilakukan terhadap seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan mempertimbangkan peringkat risiko untuk menentukan prioritas dan cara pengendaliannya.
Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus mempertimbangkan hirarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi, pengendalian teknis, administrative dan terakhir penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan dengan kondisi organisasi, ketersediaan biaya, biaya operasional, faktor manusia dan lingkungan.
Berkaitan dengan risiko K3, pengendalian risiko dilakukan dengan mengurangi kemungkinan atau kepareahan dengan mengikuti hirarki sebagai berikut.
Hirarki pengendalian bahaya

Gambar 2.1 Hirarki Pengendalian
a.    Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber bahaya.
b.    Substitusi
Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat, bahan, system atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau lebih rendah bahayanya.
c.    Pengendalian teknis
Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang ada di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan, dan pemasangan peralatan pengamanan.
d.    Pengendalian administratif
Pengendalian bahaya dapat dilakukan secara administrative misalnya dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja, atau prosedur kerja yang lebih aman, rotasi, atau pemeriksaan kesehatan.
e.    Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adalah dengan memakai alat pelindung diri misalnya pelindung kepala, sarung tangan, pelindung pernafasan (respirator atau masker), pelindung jatuh, dan pelindung kaki. Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah kecelakaan (reduce likehood) namun hanya sekadar mengurangi efek atau keparahan kecelakaan (reduce consequences)

SUMBER :
Ramli, S. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta : Dian Rakyat

No comments:

Post a Comment