Thursday, September 11, 2014

Fase Pasca Bencana Pada Bencana Erupsi Merapi Jawa Tengah

1.    Recovery
Recovery merupakan fase setelah tanggap darurat. Fase ini dimulai 2 minggu setelah kejadian bencana. Dalam setiap bencana, pasti ada trauma psikis (PTSD/Post Trauma Stress Dissorder) yang dirasakan oleh warga. Besarnya erupsi Merapi dan banyaknya korban, serta hancurnya sarana dan prasarana serta rusaknya perkebunan, sawah dan ladang warga akibat tertutup oleh debu vulkanik dapat menimbulkan trauma psikis. Jika tidak segera diintervensi, trauma ini bisa berkembang menjadi gangguan kejiwaaan. Oleh karena itu, selain fokus perawatan fisik, pengkajian kejiwaan juga diperlukan. Trauma Healing merupakan suatu hal yang tidak bisa terpisahkan dari bencana Merapi. Akan tetapi kegiatan trauma healing ini belum banyak dilakukan untuk para korban bencana Merapi. BNPB hendaknya juga menyiapkan team trauma healing untuk pemulihan kondisi psikis para korban merapi.
2.    Rehabilitasi dan Rekonstruksi
      Hingga saat ini kajian penilaian kerusakan dan kerugian sudah selesai dilakukan oleh BNPB yang didukung oleh Bappenas, Bank Dunia, UNDP, kementerian/lembaga, perguruan tinggi dan pemerintah daerah. Sedangkan kajian penilaian kebutuhan pasca bencana dan rencana aksi11 rehabilitasi dan rekonstruksi dalam proses penyelesaian.
Kajian penilaian kerusakan dan kerugian dilakukan dengan menggunakan metode ECLAC, yaitu metode penilaian akibat bencana yang dikembangkan oleh Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC). Dampak sebuah bencana dapat diukur melalui perhitungan nilai ekonomi dari akibat yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Metode ECLAC membagi dampak ke dalam tiga aspek utama yaitu: kerusakan, kerugian, dan dampak ekonomi makro dari kerusakan dan kerugian tadi. Metode ini telah sering diterapkan di Indonesia. Kerusakan, yang merupakan dampak langsung, adalah nilai dari kerusakan terhadap aset fisik seperti bangunan, dan persediaan/stok (termasuk barang jadi, bahan baku, suku cadang), yang dihitung berdasarkan biaya yang kirakira diperlukan untuk mengganti aset tersebut menggunakan satuan harga yang disepakati. Kerugian, yang merupakan dampak tidak langsung, adalah nilai dari proses atau kegiatan yang terganggu akibat rusaknya aset atau terhentinya kegiatan sosial ekonomi akibat kejadian bencana.
Sedangkan dampak ekonomi makro, yang merupakan dampak sekunder, adalah akibat sampingan yang ditimbulkan pada perekonomian, pembiayaan publik, pendapatan masyarakat serta biaya-biaya sosial yang ditanggung oleh masyarakat, yang secara keseluruhan berdampak pada volume perekonomian wilayah maupun nasional. Perhitungan nilai kerusakan, kerugian dan dampak ekonomi dilakukan pada 5 sektor yaitu perumahan, sosial (pendidikan, kesehatan, agama), ekonomi produktif (pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, industri, perdagangan, pariwisata), prasarana (transportasi darat dan udara, air bersih, sanitasi, irigasi, energi, telekomunikasi), dan lintas sector (pemerintahan, keuangan dan lingkungan hidup). Dalam perhitungan tersebut data yang digunakan adalah data per 31 Desember 2010. Kerugian dan kerusakan akibat banjir lahar dingin tidak dimasukkan dalam kajian ini. Sebab potensi banjir lahar dingin masih akan terjadi hingga Maret-April 2011 karena masih besarnya peluang terjadinya hujan ekstrim di sekitar Merapi. Jika kajian kerusakan, kerugian dan dampak ekonomi menunggu berakhirnya banjir lahar dingin, maka akan menghambat rencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itulah hasil perhitungan ini adalah hasil di luar dari dampak banjir lahar dingin. Jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 adalah Rp. 3,56 trilyun. Jumlah nilai kerusakan adalah Rp. 1,69 trilyun (47%), sedangkan jumlah nilai kerugian adalah Rp. 1,87 trilyun (53%). Nilai kerusakan paling besar dialami oleh sektor perumahan yang mencapai Rp. 599 milyar (36%), infrastruktur Rp. 582 milyar (35%) dan ekonomi Rp. 403 milyar (24%). Sedangkan untuk kerugian terbesar berturut-turut adalah ekonomi Rp .1,29 trilyun (69%), lintas sektor Rp. 396,73 milyar (21%) dan perumahan Rp 126 milyar (7%). Di sektor perumahan, perkiraan nilai kerusakan sebesar Rp. 599,3 milyar dan kerugian sebesar Rp 27,3 milyar sehingga total Rp. 626,7 milyar untuk sector perumahan. Kerusakan berat dialami oleh Kabupaten Sleman sebanyak 2.339 unit rumah di Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak. Di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 274 unit rumah di Kabupaten Magelang (Kecamatan Sawangan dan Srumbung), Kabupaten Boyolali (kecamatan Selo) dan Kabupaten Klaten (Kecamatan Kemalang). Kerusakan terparah dialami oleh Kabupaten Sleman akibat timbunan pasir dan awan panas yang mengakibatkan rusaknya struktur rumah, termasuk perabotan rumahtangga, terutama yang terbuat dari plastik dan kayu. Perkakas dan perabot rumah menjadi hangus/leleh dan tidak bisa dipergunakan lagi. Bahkan lokasi permukimannya pun tidak bisa dibangun kembali karena memerlukan perbaikan dan pembersihan terlebih dahulu untuk dapat membangun kembali rumahnya. Selain rusak berat, beberapa rumah juga mengalami rusak sedang sebanyak 360 unit dan rusak ringan sebanyak 1.571 unit. Kerusakan ini terjadi di empat kabupaten (Magelang, Klaten, Boyolali dan Sleman).
Setelah masa tanggap darurat, diperkirakan masih perlu 1 tahun atau lebih untuk membangun kembali rumah-rumah yang rusak berat atau hancur, berikut sarana pendukungnya. Selama masa tersebut, 2.613 keluarga terpaksa menempati permukiman sementara. Untuk itu disediakan 2.613 unit hunian sementara berikut sarana air, sanitasi dan fasilitas lingkungan. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar hunian sementara tidak dapat dibangun di halaman keluarga yang bersangkutan sehingga dibutuhkan lahan sementara selama satu tahun tersebut.
Khusus di Jawa Tengah, setiap keluarga yang rumah dan sawahnya hancur dilakukan pendataan dan dari pemerintah propinsi Jawa Tengah mendapatkan bantuan satu ekor sapi. Hal ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali perekonomian warga setelah hancur akibat erupsi Merapi.

No comments:

Post a Comment