Stroke merupakan gangguan neurologis yang terjadi
secara mendadak. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang cepat dan tepat agar
tindakan masih berada dalam golden period
sehingga komplikasi atau dampak buruk dari stroke dapat diminimalkan. Namun
jika kondisi klinis pasien dengan stroke akut menunjukkan kecilnya angka
harapan hidup (prognosa penyakit buruk), maka asuhan keperawatan difokuskan
pada end of life care. Adapun best practice pada perawatan end of life pada pasien stroke akut antara
lain (Cowey, 2012) :
1.
Peran team multidisiplin
Tim
kesehatan yang terdiri dari berbagai multi disiplin ilmu merupakan kunci utama
kualitas pelayanan end of life pada
pasien stroke akut. Fokus utama keperawatan adalah upaya rehabilitasi, kontrol
tanda dan gejala, memberikan kenyamanan pada pasien, serta memberikan support
untuk keluarga dan tim kesehatan. Perawat seharusnya bekerja secara bersama
dengan staff dari disiplin ilmu lain, untuk menyediakan pelayanan keperawatan end
of life yang berkualitas dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan sebagai
bagian dari konteks multidisiplin.
2.
Peran pelayanan palliative care
Perawat
yang merawat pasien dengan stroke akut membutuhkan pelatihan tentang manajemen
perawatan stroke. Akan tetapi, palliative care pada pasien stroke seringkali
tidak dilaksanakan oleh spesialis palliative care, sehingga kebanyakan perawat
di unit stroke harusnya membutuhkan pendidikan tambahan dan dukungan untuk
meningkatkan kemampuan spesifik tentang manajemen stroke. Sebagai contoh,
pasien stroke yang memiliki masalah kesulitan dalam berkomunikasi, maka perawat
bertanggung jawab untuk melatih komunikasi pada pasien tersebut agar bisa
berkomunikasi secara efektif. Sebagai tambahan, staf keperawatan, spesialis
palliative care seharusnya mampu memberikan dukungan kepada pasien dengan
masalah end of life yang kompleks.
3.
Manajemen tanda dan gejala
Tanda
dan gejala yang umum pada pasien stroke diantaranya dispneu, nyeri, mulut
kering, konstipasi dan kecemasan. Manajemen tanda dan gejala tersebut akan
semakin kompleks dengan hadirnya masalah disfagia dan gangguan komunikasi,
sehingga identifikasi tanda dan gejala sedini mungkin sangat penting dilakukan
agar dapat dilakukan tindakan secara efektif.
4.
Nutrisi dan cairan
Disfagia
merupakan komplikasi umum yang menyertai stroke yang bisa meningkatkan angka
kematian. Perawat harus melakukan pengkajian kekuatan menelan sedini mungkin
agar bisa segera direncanakan program pemberian terapi nutrisi dan cairan pada
pasien stroke.
5.
Pengambilan keputusan dan aspek etik
tindakan
6.
Spiritual dan religious care
Spiritual
merupakan komponen yang terintegrasi dalam konsep keperawatan holistic. Tim
kesehatan dan juga keluarga harus bertanggung jawab dalam hal pemenuhan
kebutuhan spiritual pada pasien. Oleh karena itu, keluarga hendaknya dihadirkan
dan dilibatkan pada perawatan spiritual pada pasien saat pasien dalam fase
terminal.
Pada kasus Tn. E, pada saat dilakukan tindakan RJP,
perawat dan dokter mengijinkan keluarga pasien untuk ikut menyaksikan dan
memberikan motivasi pada pasien dalam bentuk tuntunan spiritual pada pasien
yang akan menghadapi kematian. Kehadiran keluarga pada saat klien dilakukan
resusitasi jantung paru memiliki beberapa keuntungan, diantaranya (Charron and
Kautz, 2010) :
- Kehadiran keluarga dapat meningkatkan hasrat pasien untuk mempertahankan kehidupan.
- Bisikan dari keluarga pasien mampu menstimulasi pasien agar berjuang untuk mempertahankan kehidupan.
- Keluarga pasien dapat menyaksikan secara langsung tindakan yang sudah dan seharusnya dilakukan untuk keluarga tercintanya, sehingga tidak ada komplain di kemudian hari.
- Keluarga pasien dapat menawarkan support maupun bimbingan spiritual, sehingga pasien dapat meninggal dengan tenang dan bermartabat sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
- Selama proses resusitasi, keluarga pasien bisa memberikan jawaban terhadap riwayat kesehatan pasien jika diperlukan.
- Kehadiran keluarga selama RJP juga dapat mengisnspirasi sebuah harapan pada keluarga dan tenaga kesehatan terhadap tindakan resusitasi yang dilakukan
Sumber
: American Journal of Critical Care, 2007
Dalam konsisi kritis, kehadiran keluarga di sisi
pasien juga sangat berguna sebagai saksi terhadap semua tindakan yang telah dilakukan.
Dengan demikian saat kondisi pasien dinyatakan meninggal setelah dilakukan
tindakan resusitasi, maka keluarga akan merasa bahwa usaha sudah benar-benar
dilaksanakan secara maksimal sehingga keluarga akan memberikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada tim kesehatan dan pasien dianggap meninggal
dengan tenang.
Kehadiran keluarga saat RJP juga akan memberikan
support dan kenyamanan pada pasien, mempercepat proses pengambilan keputusan,
memahami situasi kritis, membantu proses koping dan berduka, membantu
menurunkan kecemasan dan ketakutan anggota keluarga lain (Kosowan and Jenses,
2010).
Namun, pada beberapa kondisi, keluarga pasien
seharusnya tidak diijinkan berada di samping pasien saat proses RJP. Contoh
kondisi yang tidak memperbolehkan keluarga dihadirkan di samping pasien adalah
kondisi emosi anggota keluarga yang labil, sehingga dikhawatirkan akan
mengganggu proses RJP.
Kehadiran keluarga pasien saat tindakan
resusitasi juga berdampak kepada perawat maupun tim kesehatan lain, diantaranya
berdampak pada tingkat kepercayaan diri dalam melakukan tindakan. Akan tetapi
kepercayaan diri tersebut akan tumbuh selama ada edukasi, policy serta prosedur
yang jelas tentang kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi
SUMBER
Charron,
L.B and Kautz, D.D, 2010, Should family
members have the option to be present during resuscitation efforts? Academy of Medical-Surgical Nurses, http://content.ebscohost.com/pdf23_24/pdf/2010/DLV/01May10/51236588.pdf?,
Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Cowey,
E, 2012, End of life care for patients following acute stroke, Nursing Standard, vol. 26, no. 27, pp.
42-46, http://content.ebscohost.com/pdf27_28/pdf/2012/4ER/07Mar12/73515562.pdf?T=P&P=AN&K=2011487656&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLe80SeprY4zOX0OLCmr0qeprdSs624TLGWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA.
Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Cox,
B, 2007, Family presence during CPR and invasive procedures, American Journal of Critical Care, vol.
16, pp. 270-282, http://content.ebscohost.com/pdf19_22/pdf/2007/44L/01May07/24850846.pdf?T=P&P=AN&K=2009578888&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLe80SeprY4zOX0OLCmr0qeprdSsq64SrCWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA,
Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Kosowan,
S and Jensen L, 2010, Family Presence During Cardiopulmonary Resuscitation:
Cardiac Health Care Professionals’ Perspectives, Canadian Journal of Cardiovascular Nursing, vol. 21 , no. 3, pp.
23-29, http://content.ebscohost.com/pdf25_26/pdf/2011/G3D/01Aug11/66286234.pdf?T=P&P=AN&K=2011299577&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLe80SeprY4zOX0OLCmr0qeprdSr6a4TLOWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA,
Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Setyopranoto, I, 2008, Pendekatan evidence based
medicine pada manajemen stroke perdarahan intraserebral, CDK 165, vol. 35, no. 6, pp. 321-327, http://www.ugm.ac.id,
Diakses tanggal 12 Nopember 2012 pukul 20.00 WIB.
Artikel kesehatan terbaru makasih bro artikelnya keren dan bermanfaat.
ReplyDelete