Tuesday, August 26, 2014

Peran Keluarga dalam Proses Resusitasi Jantung Paru (RJP) Pada Pasien Stroke

Stroke merupakan gangguan neurologis yang terjadi secara mendadak. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang cepat dan tepat agar tindakan masih berada dalam golden period sehingga komplikasi atau dampak buruk dari stroke dapat diminimalkan. Namun jika kondisi klinis pasien dengan stroke akut menunjukkan kecilnya angka harapan hidup (prognosa penyakit buruk), maka asuhan keperawatan difokuskan pada end of life care. Adapun best practice pada perawatan end of life pada pasien stroke akut antara lain (Cowey, 2012) :
1.    Peran team multidisiplin
Tim kesehatan yang terdiri dari berbagai multi disiplin ilmu merupakan kunci utama kualitas pelayanan end of life pada pasien stroke akut. Fokus utama keperawatan adalah upaya rehabilitasi, kontrol tanda dan gejala, memberikan kenyamanan pada pasien, serta memberikan support untuk keluarga dan tim kesehatan. Perawat seharusnya bekerja secara bersama dengan staff dari disiplin ilmu lain, untuk menyediakan pelayanan keperawatan end of life yang berkualitas dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari konteks multidisiplin.
2.    Peran pelayanan palliative care
Perawat yang merawat pasien dengan stroke akut membutuhkan pelatihan tentang manajemen perawatan stroke. Akan tetapi, palliative care pada pasien stroke seringkali tidak dilaksanakan oleh spesialis palliative care, sehingga kebanyakan perawat di unit stroke harusnya membutuhkan pendidikan tambahan dan dukungan untuk meningkatkan kemampuan spesifik tentang manajemen stroke. Sebagai contoh, pasien stroke yang memiliki masalah kesulitan dalam berkomunikasi, maka perawat bertanggung jawab untuk melatih komunikasi pada pasien tersebut agar bisa berkomunikasi secara efektif. Sebagai tambahan, staf keperawatan, spesialis palliative care seharusnya mampu memberikan dukungan kepada pasien dengan masalah end of life yang kompleks.
3.    Manajemen tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang umum pada pasien stroke diantaranya dispneu, nyeri, mulut kering, konstipasi dan kecemasan. Manajemen tanda dan gejala tersebut akan semakin kompleks dengan hadirnya masalah disfagia dan gangguan komunikasi, sehingga identifikasi tanda dan gejala sedini mungkin sangat penting dilakukan agar dapat dilakukan tindakan secara efektif.
4.    Nutrisi dan cairan
Disfagia merupakan komplikasi umum yang menyertai stroke yang bisa meningkatkan angka kematian. Perawat harus melakukan pengkajian kekuatan menelan sedini mungkin agar bisa segera direncanakan program pemberian terapi nutrisi dan cairan pada pasien stroke.
5.    Pengambilan keputusan dan aspek etik tindakan
Pada pasien stroke dengan resiko henti napas dan henti jantung, maka perawat harus sedini mungkin berkomunikasi dengan keluarga untuk membuat keputusan tindakan resusitasi saat kondisi pasien nanti mengalami perburukan. Keputusan tersebut harus didokumentasikan sebagai suatu informe concen.
6.    Spiritual dan religious care
Spiritual merupakan komponen yang terintegrasi dalam konsep keperawatan holistic. Tim kesehatan dan juga keluarga harus bertanggung jawab dalam hal pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien. Oleh karena itu, keluarga hendaknya dihadirkan dan dilibatkan pada perawatan spiritual pada pasien saat pasien dalam fase terminal.
Pada kasus Tn. E, pada saat dilakukan tindakan RJP, perawat dan dokter mengijinkan keluarga pasien untuk ikut menyaksikan dan memberikan motivasi pada pasien dalam bentuk tuntunan spiritual pada pasien yang akan menghadapi kematian. Kehadiran keluarga pada saat klien dilakukan resusitasi jantung paru memiliki beberapa keuntungan, diantaranya (Charron and Kautz, 2010) :
  1. Kehadiran keluarga dapat meningkatkan hasrat pasien untuk mempertahankan kehidupan.
  2. Bisikan dari keluarga pasien mampu menstimulasi pasien agar berjuang untuk mempertahankan kehidupan.
  3. Keluarga pasien dapat menyaksikan secara langsung tindakan yang sudah dan seharusnya dilakukan untuk keluarga tercintanya, sehingga tidak ada komplain di kemudian hari.
  4. Keluarga pasien dapat menawarkan support maupun bimbingan spiritual, sehingga pasien dapat meninggal dengan tenang dan bermartabat sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
  5. Selama proses resusitasi, keluarga pasien bisa memberikan jawaban terhadap riwayat kesehatan pasien jika diperlukan.
  6. Kehadiran keluarga selama RJP juga dapat mengisnspirasi sebuah harapan pada keluarga dan tenaga kesehatan terhadap tindakan resusitasi yang dilakukan

Sumber : American Journal of Critical Care, 2007
Dalam konsisi kritis, kehadiran keluarga di sisi pasien juga sangat berguna sebagai saksi terhadap semua tindakan yang telah dilakukan. Dengan demikian saat kondisi pasien dinyatakan meninggal setelah dilakukan tindakan resusitasi, maka keluarga akan merasa bahwa usaha sudah benar-benar dilaksanakan secara maksimal sehingga keluarga akan memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim kesehatan dan pasien dianggap meninggal dengan tenang.
Kehadiran keluarga saat RJP juga akan memberikan support dan kenyamanan pada pasien, mempercepat proses pengambilan keputusan, memahami situasi kritis, membantu proses koping dan berduka, membantu menurunkan kecemasan dan ketakutan anggota keluarga lain (Kosowan and Jenses, 2010).
Namun, pada beberapa kondisi, keluarga pasien seharusnya tidak diijinkan berada di samping pasien saat proses RJP. Contoh kondisi yang tidak memperbolehkan keluarga dihadirkan di samping pasien adalah kondisi emosi anggota keluarga yang labil, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu proses RJP.
Kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi juga berdampak kepada perawat maupun tim kesehatan lain, diantaranya berdampak pada tingkat kepercayaan diri dalam melakukan tindakan. Akan tetapi kepercayaan diri tersebut akan tumbuh selama ada edukasi, policy serta prosedur yang jelas tentang kehadiran keluarga pasien saat tindakan resusitasi

SUMBER

Charron, L.B and Kautz, D.D, 2010, Should family members have the option to be present during resuscitation efforts? Academy of Medical-Surgical Nurses, http://content.ebscohost.com/pdf23_24/pdf/2010/DLV/01May10/51236588.pdf?, Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Cowey, E, 2012, End of life care for patients following acute stroke, Nursing Standard, vol. 26, no. 27, pp. 42-46, http://content.ebscohost.com/pdf27_28/pdf/2012/4ER/07Mar12/73515562.pdf?T=P&P=AN&K=2011487656&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLe80SeprY4zOX0OLCmr0qeprdSs624TLGWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA. Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Cox, B, 2007, Family presence during CPR and invasive procedures, American Journal of Critical Care, vol. 16, pp. 270-282, http://content.ebscohost.com/pdf19_22/pdf/2007/44L/01May07/24850846.pdf?T=P&P=AN&K=2009578888&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLe80SeprY4zOX0OLCmr0qeprdSsq64SrCWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA, Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Kosowan, S and Jensen L, 2010, Family Presence During Cardiopulmonary Resuscitation: Cardiac Health Care Professionals’ Perspectives, Canadian Journal of Cardiovascular Nursing, vol. 21 , no. 3, pp. 23-29, http://content.ebscohost.com/pdf25_26/pdf/2011/G3D/01Aug11/66286234.pdf?T=P&P=AN&K=2011299577&S=R&D=rzh&EbscoContent=dGJyMNLe80SeprY4zOX0OLCmr0qeprdSr6a4TLOWxWXS&ContentCustomer=dGJyMPGoslCxqK5MuePfgeyx44Dt6fIA, Diakses tanggal 8 Nopember 2012 pukul 19.00 WIB.
Setyopranoto, I, 2008, Pendekatan evidence based medicine pada manajemen stroke perdarahan intraserebral, CDK 165, vol. 35, no. 6, pp. 321-327, http://www.ugm.ac.id, Diakses tanggal 12 Nopember 2012 pukul 20.00 WIB.

1 comment: