Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di seluruh dunia. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler dapat mencapai 30% dari total semua kematian di dunia, dengan estimasi 17,5 juta jiwa meninggal akibat penyakit kardiovaskuler setiap tahunnya (Eshah & Bond, 2009). Mortalitas penderita ST Elevation Miocardial Infarction (STEMI) berkurang dengan adanya strategi diasnotik dan terapi yang baru setelah 20 tahun pada waktu kematian karena NSTEMI belum berubah. Di lain pihak, kemajuan baru strategi diagnostik dan terapi untuk Unstable Angina Pectoris dan Non STEMI dapat merupakan pilihan bagi semua untuk berperan dan mungkin mengubah perjalanan penyakit dari ACS ini (Perki, 2004).
Berdasarkan hasil observasi di ruang Cardiac Intensive Care Unit (CICU) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, sekitar 75% pasien yang dirawat adalah pasien dengan sindroma koronaria akut/ coronary arterial disease / coronary heart disease. Pada umumnya masalah utama pada pasien dengan CHD adalah nyeri. Nyeri diakibatkan oleh penumpukan laktat akibat metabolisme anaerob di jaringan miocard karena terjadi ketidakseimbangan antara supai O2 dan O2 demand. Selain itu, akibat penimbunan laktat, pasien dengan CHD juga akan merasakan lemas, sehingga status oksigenasi dan juga status hemodinamik juga harus benar-benar diperhatikan.
Nyeri pada penderita CHD merupakan masalah yang serius yang harus segera mendapatkan penanganan. Kalau tidak segera diatasi, nyeri pada pasien dengan CHD akan merangsang saraf simpatis sehingga dampaknya akan meningkatkan HR, dan juga terjadi vasokonstriksi. Akibatnya beban jantung akan bertambah, sehingga energy yang diperlukan akan meningkat. Akibatnya kebutuhan O2 juga akan meningkat. Peningkatan kebutuhan O2 yang tidak diikuti dengan supai O2 yang adekuat pada jaringan miokard akan memperburuk kondisi jantung. Oleh karena itu, oksigen tambahan dan juga terapi farmakologis maupun non farmakologis harus segera diberikan pada pasien agar masalah nyeri segera teratasi.
Pada fase nyeri, pasien dengan CHD diharuskan bedrest total untuk mengurangi O2 demand. Namun, setelah fase nyeri berakhir (pasien tidak merasakan nyeri selama 2 x 24 jam setelah serangan), maka pasien harus diberikan program rehabilitasi.
Penderita gangguan jantung memerlukan program rehabilitasi yang komprehensif untuk mengembalikan kemampuan fisik paska serangan serta mencegah terjadinya serangan ulang. Program rehabilitasi tersebut meliputi perubahan gaya hidup yang antara lain meliputi pengaturan pola makan, manajemen stress, latihan fisik (Arovah, 2008).
Pada dasarnya, program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung. Program latihan fisik didasarkan pada tingkat kesadaran pasien dan kebutuhan individual. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa program latihan sebaiknya dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut nadi, perceived exertion maupun prediksi METs. Apabila terjadi gejala gangguan jantung, ortopedik, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap program latihan.
Tetapi, sesuai hasil observasi di lapangan, ternyata pada pasien dengan CHD yang akan keluar/meninggalkan ruangan intensive tidak dilakukan tindakan rehabilitasi terlebih dahulu, baik itu latihan exercise secara bertahap, support psikososial, dan juga asupan nutrisi. Padahal rehabilitasi pada pasien CHD sangat penting diberikan karena akan melatih kompensasi jantung terhadap aktivitas fisik secara bertahap. Program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung merupakan program multi fase yang dirancang untuk memulihkan gangguan jantung terutama gangguan pembuluh darah koroner jantung. Pada program ini pasien dilatih agar dapat kembali menjalankan hidup secara optimal dan produktif. Program ini didasarkan pada pengetahuan fisiologis, psikologis, stress, vocational dan rekreasional. Program ini meliputi terapi latihan, konseling psikologis, terapi perilaku menuju gaya hidup sehat. Gaya hidup yang disarankan berupa menghentikan rokok, diet tinggi serat, rendah lemak dan manajemen stress (Milligan, 2012).
Dewasa ini terapi latihan cenderung dijadikan fokus dari keseluruhan program rehabilitasi. Pada pelaksanaannya, prinsip-prinsip pemrograman latihan (exercise prescription) yang berlaku pada orang sehat juga berlaku pada penderita gangguan jantung. Walaupun demikian, mengingat terdapat keterbatasan fisiologis pada penderita gangguan jantung, program latihan harus memperhatikan status klinis dan riwayat kesehatan seseorang (Cortes, et.al, 2009).
SUMBER :
Arovah, N.I, 2008, Program latihan fisik rehabilitatif pada penderita penyakit jantung,http://staff.uny.ac.id.
Cortes, O.L, et.al, 2009, Early mobilisation for patients following acute myocardiac infarction: A systematic review and meta-analysis of experimental studies, International Journal of Nursing Studies, vol. 46, pp. 1496-1504, www.elsevier.com/ijns
Perki. (2004). Tata Laksana Sindroma Koronaria Akut. Penerbit FK UI
Berdasarkan hasil observasi di ruang Cardiac Intensive Care Unit (CICU) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, sekitar 75% pasien yang dirawat adalah pasien dengan sindroma koronaria akut/ coronary arterial disease / coronary heart disease. Pada umumnya masalah utama pada pasien dengan CHD adalah nyeri. Nyeri diakibatkan oleh penumpukan laktat akibat metabolisme anaerob di jaringan miocard karena terjadi ketidakseimbangan antara supai O2 dan O2 demand. Selain itu, akibat penimbunan laktat, pasien dengan CHD juga akan merasakan lemas, sehingga status oksigenasi dan juga status hemodinamik juga harus benar-benar diperhatikan.
Nyeri pada penderita CHD merupakan masalah yang serius yang harus segera mendapatkan penanganan. Kalau tidak segera diatasi, nyeri pada pasien dengan CHD akan merangsang saraf simpatis sehingga dampaknya akan meningkatkan HR, dan juga terjadi vasokonstriksi. Akibatnya beban jantung akan bertambah, sehingga energy yang diperlukan akan meningkat. Akibatnya kebutuhan O2 juga akan meningkat. Peningkatan kebutuhan O2 yang tidak diikuti dengan supai O2 yang adekuat pada jaringan miokard akan memperburuk kondisi jantung. Oleh karena itu, oksigen tambahan dan juga terapi farmakologis maupun non farmakologis harus segera diberikan pada pasien agar masalah nyeri segera teratasi.
Pada fase nyeri, pasien dengan CHD diharuskan bedrest total untuk mengurangi O2 demand. Namun, setelah fase nyeri berakhir (pasien tidak merasakan nyeri selama 2 x 24 jam setelah serangan), maka pasien harus diberikan program rehabilitasi.
Penderita gangguan jantung memerlukan program rehabilitasi yang komprehensif untuk mengembalikan kemampuan fisik paska serangan serta mencegah terjadinya serangan ulang. Program rehabilitasi tersebut meliputi perubahan gaya hidup yang antara lain meliputi pengaturan pola makan, manajemen stress, latihan fisik (Arovah, 2008).
Pada dasarnya, program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung. Program latihan fisik didasarkan pada tingkat kesadaran pasien dan kebutuhan individual. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa program latihan sebaiknya dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut nadi, perceived exertion maupun prediksi METs. Apabila terjadi gejala gangguan jantung, ortopedik, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap program latihan.
Tetapi, sesuai hasil observasi di lapangan, ternyata pada pasien dengan CHD yang akan keluar/meninggalkan ruangan intensive tidak dilakukan tindakan rehabilitasi terlebih dahulu, baik itu latihan exercise secara bertahap, support psikososial, dan juga asupan nutrisi. Padahal rehabilitasi pada pasien CHD sangat penting diberikan karena akan melatih kompensasi jantung terhadap aktivitas fisik secara bertahap. Program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung merupakan program multi fase yang dirancang untuk memulihkan gangguan jantung terutama gangguan pembuluh darah koroner jantung. Pada program ini pasien dilatih agar dapat kembali menjalankan hidup secara optimal dan produktif. Program ini didasarkan pada pengetahuan fisiologis, psikologis, stress, vocational dan rekreasional. Program ini meliputi terapi latihan, konseling psikologis, terapi perilaku menuju gaya hidup sehat. Gaya hidup yang disarankan berupa menghentikan rokok, diet tinggi serat, rendah lemak dan manajemen stress (Milligan, 2012).
Dewasa ini terapi latihan cenderung dijadikan fokus dari keseluruhan program rehabilitasi. Pada pelaksanaannya, prinsip-prinsip pemrograman latihan (exercise prescription) yang berlaku pada orang sehat juga berlaku pada penderita gangguan jantung. Walaupun demikian, mengingat terdapat keterbatasan fisiologis pada penderita gangguan jantung, program latihan harus memperhatikan status klinis dan riwayat kesehatan seseorang (Cortes, et.al, 2009).
SUMBER :
Arovah, N.I, 2008, Program latihan fisik rehabilitatif pada penderita penyakit jantung,http://staff.uny.ac.id.
Cortes, O.L, et.al, 2009, Early mobilisation for patients following acute myocardiac infarction: A systematic review and meta-analysis of experimental studies, International Journal of Nursing Studies, vol. 46, pp. 1496-1504, www.elsevier.com/ijns
Perki. (2004). Tata Laksana Sindroma Koronaria Akut. Penerbit FK UI
No comments:
Post a Comment