KASUS
Ketika seorang klien datang ke UGD dengan keadaan TD 70/palpasi, suhu axila 40,50C, nadi 120x per menit, maka langkah-langkah yang harus kita (perawat) lakukan adalah:
1. Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
a. Airway
1) Kita lihat kondisi umum klien secara cepat: ada trauma atau tidak.
2) Kita cek kesadaran klien dengan menepuk bahu klien atau mencubit, atau memberi rangsangan nyeri di sternum. Bila klien tidak sadar, kita pasang tongue spatel/ mayo agar lidah tidak jatuh ke belakang. Bila klien gelisah indikasi hipoksia sehingga perlu pemberian O2.
3) Kita tegakkan kepala klien (head till chinlift bila tidak dicurigai adanya trauma servikal), atau jaw trust bila dicurigai ada trauma servikal.
4) Sambil melakukan head till kita lihat rongga mulut klien, ada sumbatan atau tidak. Bila dalam rongga mulut klien ada benda asing yang masih bisa kita lihat, kita lakukan finger cross, jika gagal, kita lakukan abdominal trust.
5) Kita dengarkan bunyi napas klien dengan cara mendekatkan telinga kita ke hidung klien sambil mata melihat pergerakan dinding dada. Bila bunyi napas gurgling, kita lakukan suction.
6) Kita rasakan aliran udara klien dengan mnggunakan punggung tangan. Jika tidak terasa aliran udara segera periksa nadi carotis. Kalau nadi karotis tidak teraba, segera lakukan RJP. Tetapi kalau masih teraba nadi tetapi tidak ada napas, kolaborasi dengan tim anestesi untuk melakukan intubasi dini.
b. Breathing
1) Kita hitung RR klien dalam 1 menit penuh dengan cara melihat naik turunnya dada klien. Bila RR > 20x/mnt dan airway clear kita berikan 100% oksigen melalui non re-breathing mask.
2) Kita lihat kesimetrisan dinding dada, simetris kanan kiri saat inspirasi dan ekspirasi. Jika pergerakan maupun bentuk dada tidak simetris waspada adanya pneumothorax, dll.
3) Kita lihat ada tidaknya luka di dada. Bila ada perdarahan dilakukan balut tekan. Jika ada luka, segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk pemasangan WSD.
4) Kita palpasi, ada tidaknya nyeri bila klien sadar. Jika terdengar suara krepitasi saat palpasi, kita curiga adanya ruptur trakea dan empisema. Segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk pemasangan WSD.
5) Kita perkusi, ada tidaknya perubahan suara paru dan organ dada. Perubahan suara pada paru mengindikasikan isi dari paru, bisa udara yang berlebih, cairan maupun darah, maupun tumor.
6) Kita lakukan auskulasi dada, untuk mengetahui adanya perubahan suara paru.
7) Kita pasang pulse oksimetri untuk mengkaji saturasi oksigen. Jika saturasi O2 kurang dari 95%, berikan O2 dengan menggunakan rebreathing mask. Pulse oksimetri hendaknya tetap dipasang pada jari pasien, untuk memonitor saturasi O2. Jika setelah pemberian O2 dengan menggunakan rebreathing mask saturasi O2 pasien tetap turun, dan pasien tampak gelisah, disertai akral dingin dan sianosis, maka segera kolaborasi dengan anestesi untuk segera dilakukan intubasi dini.
8) Kita cocokkan hasil pengukuran saturasi oksigen dengan PaO2 dalam kurva disosiasi, bila PaO2< 60 mmHg maka indikasi dilakukan intubasi dini, sambil kita kirim sampel darah (AGD) ke laboatorium.
c. Circulation
1) Lihat adanya perdarahan terbuka atau tanda-tanda perdarahan yang lain.
2) Kita hitung nadi,bila >100 kali per menit merupakan tanda signifikan.
3) Kita ukur tekanan darah. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg, nadi >100x/mnt kita pasang infus dengan menggunakan kanul yang besar (18 G), dengan cairan koloid atau kristaloid.
4) Sambil melakukan pemasangan infus, kita bisa mengambil sampel darah dan melakukan pemeriksaan GDS. Jika ada tanda hipoglikemia, segera berikan cairan dekstosa 40%, dan jika ada tanda hiperglikemia berikan insulin. Tetapi, jika GDS menunnjukkan nilai normal, maka kita fokus pada resusitasi cairan.
5) Kita pasang kateter urin untuk mengetahui balance cairan. Selalu mengukur jumlah cairan yang masuk dan yang keluar untuk mengetahui balance cairan. Jika jumlah input dan output tidak seimbang, artinya output sedikit, maka indikasi adanya gangguan di ginjal.
6) Cairan kristaloid yang kita berikan sebanyak 1000 ml atau koloid 500 ml sambil kita pantau tekanan darah dan MAP, bila tekanan darah dan MAP tetap (tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg ) maka kita pertimbangkan pemasangan CVP dengan berkolaborasi dengan dokter anestesi dan melakukan pengukuran CVP. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg dan CVP < 8 mmHg kita ulangi pemberian cairan kristaloid bolus 500-1000 ml atau cairan koloid 300-500 ml. Kemudian, kita evaluasi tekanan darah sistolik, MAP dan CVP lagi. Jika tekanan sistolik <90 mmHg dan MAP <90 mmHg, dan CVP ≥8 mmHg maka kita mulai pemberian vassoaktif pada klien. Jika tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta CVP ≥8 mmHg, maka intervensi selanjutnya adalah pengukuran ScvO2. Jika nilai ScvO2 ≥ 70 mmHg, tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta CVP ≥8 mmHg maka resusitasi cairan berhasil. Jika nilai ScvO2 <70%, maka indikasi dilakukan pemberian tranfusi jika nilai hematokrit <3%. Jika ada indikasi hipoclorid, maka diberikan inotropik. Tetapi, jika tekanan sistolik dan MAP, serta CVP tetap (sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg dan CVP < 8 mmHg) kita ulangi lagi pemberian cairan kristaloid 500-1000 ml atau cairan koloid 300-500 ml.
7) Saat ressusitasi cairan pemantauan terhadap suara dan kondisi paru harus diperhatikan, karena dikhawatirkan terjadi penimbunan cairan pada paru. Selain itu pengukuran input dan output cairan harus diperhitungkan secara akurat untuk memantau balance cairan pada pasien.
8) Kita periksa waktu pengisian kapiler (CRT). Ini menunjukkan tingkat transportasi O2 pada jaringan yang paling distal. Jika CRT > 3 detik maka ada gangguan pada proses transportasi O2 pada jaringan distal.
9) Ukur suhu aksila klien. Jika suhu klien lebih dari 40 derajat celcius, pertimbangkan untuk melakukan internal cooling yaitu suatu mekanisme untuk menurunkan suhu tubuh secara ekstrim.
10) Lakukan pengukuran tinggi JVP. Jika ada peningkatan JVP, indikasi adanya payah jantung, sehingga pemberian cairan perlu kita perhatikan dan pertimbangkan.
11) Kita lakukan pemeriksaan darah lengkap, kultur, urin dan sputum untuk mengetahui agen penyebab sepsis.
1. Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
a. Airway
1) Kita lihat kondisi umum klien secara cepat: ada trauma atau tidak.
2) Kita cek kesadaran klien dengan menepuk bahu klien atau mencubit, atau memberi rangsangan nyeri di sternum. Bila klien tidak sadar, kita pasang tongue spatel/ mayo agar lidah tidak jatuh ke belakang. Bila klien gelisah indikasi hipoksia sehingga perlu pemberian O2.
3) Kita tegakkan kepala klien (head till chinlift bila tidak dicurigai adanya trauma servikal), atau jaw trust bila dicurigai ada trauma servikal.
4) Sambil melakukan head till kita lihat rongga mulut klien, ada sumbatan atau tidak. Bila dalam rongga mulut klien ada benda asing yang masih bisa kita lihat, kita lakukan finger cross, jika gagal, kita lakukan abdominal trust.
5) Kita dengarkan bunyi napas klien dengan cara mendekatkan telinga kita ke hidung klien sambil mata melihat pergerakan dinding dada. Bila bunyi napas gurgling, kita lakukan suction.
6) Kita rasakan aliran udara klien dengan mnggunakan punggung tangan. Jika tidak terasa aliran udara segera periksa nadi carotis. Kalau nadi karotis tidak teraba, segera lakukan RJP. Tetapi kalau masih teraba nadi tetapi tidak ada napas, kolaborasi dengan tim anestesi untuk melakukan intubasi dini.
b. Breathing
1) Kita hitung RR klien dalam 1 menit penuh dengan cara melihat naik turunnya dada klien. Bila RR > 20x/mnt dan airway clear kita berikan 100% oksigen melalui non re-breathing mask.
2) Kita lihat kesimetrisan dinding dada, simetris kanan kiri saat inspirasi dan ekspirasi. Jika pergerakan maupun bentuk dada tidak simetris waspada adanya pneumothorax, dll.
3) Kita lihat ada tidaknya luka di dada. Bila ada perdarahan dilakukan balut tekan. Jika ada luka, segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk pemasangan WSD.
4) Kita palpasi, ada tidaknya nyeri bila klien sadar. Jika terdengar suara krepitasi saat palpasi, kita curiga adanya ruptur trakea dan empisema. Segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk pemasangan WSD.
5) Kita perkusi, ada tidaknya perubahan suara paru dan organ dada. Perubahan suara pada paru mengindikasikan isi dari paru, bisa udara yang berlebih, cairan maupun darah, maupun tumor.
6) Kita lakukan auskulasi dada, untuk mengetahui adanya perubahan suara paru.
7) Kita pasang pulse oksimetri untuk mengkaji saturasi oksigen. Jika saturasi O2 kurang dari 95%, berikan O2 dengan menggunakan rebreathing mask. Pulse oksimetri hendaknya tetap dipasang pada jari pasien, untuk memonitor saturasi O2. Jika setelah pemberian O2 dengan menggunakan rebreathing mask saturasi O2 pasien tetap turun, dan pasien tampak gelisah, disertai akral dingin dan sianosis, maka segera kolaborasi dengan anestesi untuk segera dilakukan intubasi dini.
8) Kita cocokkan hasil pengukuran saturasi oksigen dengan PaO2 dalam kurva disosiasi, bila PaO2< 60 mmHg maka indikasi dilakukan intubasi dini, sambil kita kirim sampel darah (AGD) ke laboatorium.
c. Circulation
1) Lihat adanya perdarahan terbuka atau tanda-tanda perdarahan yang lain.
2) Kita hitung nadi,bila >100 kali per menit merupakan tanda signifikan.
3) Kita ukur tekanan darah. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg, nadi >100x/mnt kita pasang infus dengan menggunakan kanul yang besar (18 G), dengan cairan koloid atau kristaloid.
4) Sambil melakukan pemasangan infus, kita bisa mengambil sampel darah dan melakukan pemeriksaan GDS. Jika ada tanda hipoglikemia, segera berikan cairan dekstosa 40%, dan jika ada tanda hiperglikemia berikan insulin. Tetapi, jika GDS menunnjukkan nilai normal, maka kita fokus pada resusitasi cairan.
5) Kita pasang kateter urin untuk mengetahui balance cairan. Selalu mengukur jumlah cairan yang masuk dan yang keluar untuk mengetahui balance cairan. Jika jumlah input dan output tidak seimbang, artinya output sedikit, maka indikasi adanya gangguan di ginjal.
6) Cairan kristaloid yang kita berikan sebanyak 1000 ml atau koloid 500 ml sambil kita pantau tekanan darah dan MAP, bila tekanan darah dan MAP tetap (tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg ) maka kita pertimbangkan pemasangan CVP dengan berkolaborasi dengan dokter anestesi dan melakukan pengukuran CVP. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg dan CVP < 8 mmHg kita ulangi pemberian cairan kristaloid bolus 500-1000 ml atau cairan koloid 300-500 ml. Kemudian, kita evaluasi tekanan darah sistolik, MAP dan CVP lagi. Jika tekanan sistolik <90 mmHg dan MAP <90 mmHg, dan CVP ≥8 mmHg maka kita mulai pemberian vassoaktif pada klien. Jika tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta CVP ≥8 mmHg, maka intervensi selanjutnya adalah pengukuran ScvO2. Jika nilai ScvO2 ≥ 70 mmHg, tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta CVP ≥8 mmHg maka resusitasi cairan berhasil. Jika nilai ScvO2 <70%, maka indikasi dilakukan pemberian tranfusi jika nilai hematokrit <3%. Jika ada indikasi hipoclorid, maka diberikan inotropik. Tetapi, jika tekanan sistolik dan MAP, serta CVP tetap (sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg dan CVP < 8 mmHg) kita ulangi lagi pemberian cairan kristaloid 500-1000 ml atau cairan koloid 300-500 ml.
7) Saat ressusitasi cairan pemantauan terhadap suara dan kondisi paru harus diperhatikan, karena dikhawatirkan terjadi penimbunan cairan pada paru. Selain itu pengukuran input dan output cairan harus diperhitungkan secara akurat untuk memantau balance cairan pada pasien.
8) Kita periksa waktu pengisian kapiler (CRT). Ini menunjukkan tingkat transportasi O2 pada jaringan yang paling distal. Jika CRT > 3 detik maka ada gangguan pada proses transportasi O2 pada jaringan distal.
9) Ukur suhu aksila klien. Jika suhu klien lebih dari 40 derajat celcius, pertimbangkan untuk melakukan internal cooling yaitu suatu mekanisme untuk menurunkan suhu tubuh secara ekstrim.
10) Lakukan pengukuran tinggi JVP. Jika ada peningkatan JVP, indikasi adanya payah jantung, sehingga pemberian cairan perlu kita perhatikan dan pertimbangkan.
11) Kita lakukan pemeriksaan darah lengkap, kultur, urin dan sputum untuk mengetahui agen penyebab sepsis.
Gambar 1 : Skema resusitasi cairan pada penderita Syok Sepsis (Morrel RM, 2009).
Apabila masalah di Airway, Breathing dan Circulation sudah tetangani maka kita lanjut ke :
d. Disability, Drugs
1) Kita cek tingkat kesadaran klien lagi dengan menggunakan AVPU (Alert Verbal Pain Unresposiveness). Jika pasien gelisah, maka indikasi adanya hipoksia. Maka ada masalah pada transportasi oksigen.
2) Apabila kuman penyebab sepsis sudah diketahui (dari hasil kultur), kolaborasi dengan medis untuk diberikan antibiotik spektrum luas.
e. Exposure,EKG
1) Jika sumber infeksi tidak diketahui maka kita cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya secara lebih teliti.
2) Kita lakukan rekaman EKG, apabila terjadi ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi tanpa nadi maka indikasi dilakukan defibrilasi.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Penyakit pasien dan keluarga
Riwayat penyakit dan pengobatan akan sangat berguna untuk menentukan patofisiologi dan sejarah perkembangan penyakit pada tubuh klien.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
Pemeriksaan fisik head to toe, dilakukan agar memperoleh hasil pengkajian yang lebih detail.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium yang penting untuk menunjang penatalaksanaan pada pasien dengan syok sepsis diantaranya BGA, GDS, Laktat, BUN, Ureun, Kreatinin, SGOT, SGPT, elektrolit, dll. Selain itu, kultur darah, sputum, urin, dan feses juga diperlukan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab sepsis serta antibiotik yang sudah resisten pada pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk memperkuat diagnosa pada pasien. Misalnya rontgent thorax dan abdomen, untuk mengetahui keadaan dan isi thorax dan abdomen. Jika ada trauma maka dilakukan rontgen pada area yang mengalami trauma. Jika ada trauma pada kepala, dilakukan CT-scan.
e. Jika pasien sudah stabil, maka perawat bisa merujuk ke bagian intensif care unit yang sudah dipesan sebelumnya.
Tanda ancaman terhadap kehidupan
Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan kegagalan fungsi organ. Jika sudah menyembabkan ancaman terhadap kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU, dengan indikasinya sebagai berikut:
• Penurunan fungsi ginjal
• Penurunan fungsi jantung
• Hyposia
• Asidosis
• Gangguan pembekuan darah
• Acute respiratory distress syndrome (ards) – tanda cardinal oedema pulmonal.
d. Disability, Drugs
1) Kita cek tingkat kesadaran klien lagi dengan menggunakan AVPU (Alert Verbal Pain Unresposiveness). Jika pasien gelisah, maka indikasi adanya hipoksia. Maka ada masalah pada transportasi oksigen.
2) Apabila kuman penyebab sepsis sudah diketahui (dari hasil kultur), kolaborasi dengan medis untuk diberikan antibiotik spektrum luas.
e. Exposure,EKG
1) Jika sumber infeksi tidak diketahui maka kita cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya secara lebih teliti.
2) Kita lakukan rekaman EKG, apabila terjadi ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi tanpa nadi maka indikasi dilakukan defibrilasi.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Penyakit pasien dan keluarga
Riwayat penyakit dan pengobatan akan sangat berguna untuk menentukan patofisiologi dan sejarah perkembangan penyakit pada tubuh klien.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
Pemeriksaan fisik head to toe, dilakukan agar memperoleh hasil pengkajian yang lebih detail.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium yang penting untuk menunjang penatalaksanaan pada pasien dengan syok sepsis diantaranya BGA, GDS, Laktat, BUN, Ureun, Kreatinin, SGOT, SGPT, elektrolit, dll. Selain itu, kultur darah, sputum, urin, dan feses juga diperlukan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab sepsis serta antibiotik yang sudah resisten pada pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk memperkuat diagnosa pada pasien. Misalnya rontgent thorax dan abdomen, untuk mengetahui keadaan dan isi thorax dan abdomen. Jika ada trauma maka dilakukan rontgen pada area yang mengalami trauma. Jika ada trauma pada kepala, dilakukan CT-scan.
e. Jika pasien sudah stabil, maka perawat bisa merujuk ke bagian intensif care unit yang sudah dipesan sebelumnya.
Tanda ancaman terhadap kehidupan
Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan kegagalan fungsi organ. Jika sudah menyembabkan ancaman terhadap kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU, dengan indikasinya sebagai berikut:
• Penurunan fungsi ginjal
• Penurunan fungsi jantung
• Hyposia
• Asidosis
• Gangguan pembekuan darah
• Acute respiratory distress syndrome (ards) – tanda cardinal oedema pulmonal.
0 Komentar untuk "PENANGANAN KASUS SYOK SEPSIS"