Manajemen Sindroma Koroner Akut (SKA)

Sindroma Koroner Akut (SKA)/Coronary Arterial Disease (CAD)/Coronary Heart Disease (CHD) merupakan sekumpulan gejala yang diakibatkan oleh gangguan aliran darah pembuluh darah koroner jantung secara akut. Umumnya disebabkan oleh penyempitan pembuluh koroner akibat plak aterosklerosis yang lalu mengalami perobekan dan hal ini memicu darah terjadinya gumpalan-gumpalan darah (trombosis). Faktor risiko pada CAD antara lain riwayat perokok, hipertensi, diabetes milletus, pola hidup, dll.
Salah satu faktor risiko dari CAD/SKA adalah riwayat merokok dalam jangka yang lama. Merokok berperan dalam memperburuk  kondisi penyakit arteri koroner melalui 3 cara yaitu:
1.    Menghirup asap akan meningkatkan kadar karbon monoksida (CO) darah. Hemoglobin sebagai komponen dalam darah  yang mengangkut oksigen lebih mudah terikat pada CO daripada O2. Oleh karena itu, oksigen yang disuplai ke jantung menjadi sangat berkurang, sehingga membuat jantung bekerja lebih keras untuk menghasilkan energy yang sama besarnya.
2.    Asam nikonat pada tembakau akan memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri. Aliran darah dan oksigenasi jaringan menjadi terganggu.
3.    Merokok meningkatkan adhesi trombosit, sehingga mengakibatkan kemungkinan terjadinya peningkatan pembentukan thrombus.
Klien dengan CAD pertama kali akan merasakan nyeri yang khas pada dada sebelah kiri. Sensasi nyeri yang dirasakan pada klien dengan CAD diantaranya nyeri seperti terbakar, ditusuk-tusuk, atau tertimpa benda berat. Nyeri juga akan dirasakan menyebar ke leher, punggung, perut, dll. Pada kasus di atas, klien mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri tembus ke belikat kiri dengan skala 4 dari rentang 10. Nyeri yang dirasakan klien dengan CAD sebagai akibat penumpukan laktat dalam jaringan miokardial sebagai akibat perubahan metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob karena kurangnya supai oksigen ke jaringan miokardial akibat terhalang oleh aterosklerosis atau sumbatan pada arteri koroner.
Prinsip penatalaksanaan pada klien dengan CAD antara lain menurunkan oksigen demand, fibrinolisis dan juga primary PCI. Klien perlu istirahat dan membatasi aktivitas, terapi O2 binasal kanul 3 liter per menit serta  mendapatkan terapi ISDN dan juga obat anti platelet (aspilet dan CPG). Istirahat dan pembatasan aktivitas harus dilakukan untuk menurunkan O2 demand sehingga antara kebutuhan dan suplai O2 terjadi keseimbangan agar metabolisme aerob tetap berlangsung, sehingga produksi laktat tidak terjadi dan klien keluhan nyeri bisa hilang. Selain itu posisi semifowler juga diberikan pada klien dengan tujuan untuk mengurangi venous return pada jantung sehingga preload berkurang. Akibatnya beban jantung pun akan berkurang sehingga O2 demand berkurang.
Pada pasien dengan CAD biasanya juga diberikan obat pencahar. Tujuan pemberian obat ini adalah untuk melunakkan feces sehingga diharapkan mencegah valsava maneuver saat klien BAB. Valsava maneuver harus dicegah karena bisa meningkatkan beban jantung dan juga meningkatkan O2 demand.
Selain itu, penderita CAD juga mendapatkan terapi ISDN yang merupakan vasodilator. Tujuan dari terapi ini pada kasus di atas adalah melebarkan pembuluh darah agar dapat memperlancar aliran darah (memberikan ruang) pada sirkulasi coroner, sehingga O2 yang disuplai melalui arteri koroner bisa meningkat. Dengan meningkatnya suplai O2 pada arteri koroner, maka diharapkan metabolism akan berlangsung secara aerob sehingga produksi laktat tidak terbentuk dan rasa nyeri hilang. Peran perawat terhadap klien yang mendapatkan terapi ISDN ini adalah memonitor perubahan TTV karena ISDN merupakan vasodilator yang dapat menurunkan tekanan darah.
Obat anti platelet juga diberikan untuk mencegah agregasi dari platelet. Pada kasus CAD biasanya terdapat injuri pada pembuluh darah koroner. Pada pembuluh darah yang rusak, sel-sel platelet akan terjadi adhesi yang selanjutnya terjadi agregasi platelet. Agregasi platelet ini aakan menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin akan mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin. Kalau benang fibrin terbentuk di pembuluh darah, maka lama-kelamaan akan menyumbat saluran pembuluh darah tersebut. Akibatnya aliran darah terganggu sehingga suplai O2 juga akan terganggu. Oleh karena itu anti platelet harus diberikan untuk mencegah pelepasan trombin.
Nyeri pada kasus CAD merupakan masalah yang harus segera di atasi. Jika tidak segera diatasi maka akan menyebabkan gangguan dalam hemodinamik klien. Respon nyeri pada klien akan merangsang saraf simpatis untuk bekerja. Saraf simpatis tersebut akan menyebabkan peningkatan denyut jantung, dan vasokonstriksi pada pembuluh darah. Akibatnya beban jantung akan bertambah sehingga O2 demand di jantung akan meningkat. Sementara itu pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran darah terganggu. Karena aliran darah terganggu maka suplai O2 ke jaringan miocard juga akan terpenuhi. Sehingga kalau nyeri tidak segera diatasi maka akan memperburuk keadaan jantung.
Selain itu β bloker juga perlu diberikan untuk menghambat β adrenergik, karena β adrenergik dapat meningkatkan simpatis sehingga meningkatkan O2 demand. Contoh β bloker yang digunakan dalam kasus ini adalah bisoprolol.
Captopril (ACE inhibitor) juga diberikan. Pada kasus ini ACE inhibitor diberikan untuk menghambat kerja ACE. ACE dapat merangsang renin. Renin ini akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II ini sifatnya vasokonstriksi kuat. Angiotensin II akan merangsang korteks adrenal untuk melepaskan aldosteron. Aldosteron ini sifatnya retensi Na dan air sehingga cairan di intersisial dan juga intravascular akan meningkat. Dampaknya preload akan meningkat, sehingga beban kerja jantung meningkat. Oleh karena itu, dampak negative harus dicegah dengan pemberian ACE inhibitor.
Penderita CAD yang masih dalam “golden period” harusnya mendapatkan terapi primary PCI dan juga anti trombolitik (streptase). Karena alasan biaya, maka kedua terapi tersebut biasanya tidak bisa diberikan. Pengganti dari terapi tersebut adalah anti koagulan. Obat yang digunakan adalah UFH (Heparin). UFH menjadi pilihan terapi bagi klien yang diduga ada masalah pada ginjal karena molekul pada UFH ini kecil sehingga tidak memperberat kerja ginjal. Sebagai contoh, klien biasanya mendapatkan terapi UFH drip 12 U/kgBB. Sebelum dilakukan heparinisasi maka APTT harus diperiksa. Hasil APTT sebelum dilakukan heparinisasi dianggap sebagai APTT base line. Misalnya target dari terapi heparinisasi pada klien adalah 50-70 detik. APTT base line pada klien misal  24 detik. Karena APTT kurang dari 35 maka diberikan UFH bolus 60 U/kgBB, kemudian dilanjutkan UFH drip 12 U/kgBB. Tiga jam kemudian diperiksa lagi APTT nya. Karena hasilnya 40,7 detik (diantara 35-49 detik) maka klien diberikan bolus 35 U/kgBB kemudian dilanjutkan 14 U/kgBB drip. Enam jam kemudian diperiksa lagi nilai APTT nya. Misalkan nilai APTT pada klien 55,9 detik (sesuai target 50-70 detik), sehingga dosis UFH drip 14 U/kgBB dipertahankan. 12 jam berikutnya diperiksa lagi APTT nya. Jika APTT sesuai target maka UFH drip dipertahankan sampai 24 jam berikutnya saat dilakukan pemeriksaan APTT lagi. Berikut ini adalah algoritma pemberian UFH pada klien :
Pemberian UFH biasanya maksimal 2 x 24 jam. Karena UFH ini antikoagulan, maka tanda-tanda perdarahan pada klien harus dimonitor. Setelah terbebas dari nyeri selama 2 x 24 jam, maka klien harus diajari mobilisasi secara bertahap. Hal tersebut dilakukan untuk melatih respon jantung terhadap aktivitas ringan. Pada saat latihan mobilisasi, maka respon jantung juga harus dimonitor. Perawat atau ahli rehabilitasi harus memmonitor perubahan tekanan darah dan juga HR sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi.
0 Komentar untuk "Manajemen Sindroma Koroner Akut (SKA)"

About Me

My photo
Assalamuálaikum. Sugeng rawuh di gubuk kami. Saya sangat senang dan berterima kasih kalau ada teman-teman yang mau berbagi ilmu di sini.

fijaytrangkil@gmail.com

Powered by Blogger.
Back To Top